Areanusantara.com, SAMARINDA — Polemik pengadaan Lembar Kerja Siswa (LKS) di SDN 017 Sungai Pinang, Jalan Merdeka, akhirnya mendapat klarifikasi dari Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Samarinda.
Dalam pertemuan yang melibatkan pihak sekolah, wali kelas, serta Disdik pada Sabtu (27/9/2025), ditegaskan bahwa pembelian LKS tidak bersifat wajib dan tidak ada indikasi tekanan terhadap wali murid.
Kepala Bidang Pembinaan SD Disdik Samarinda, Idah Rahmawati, menyampaikan hasil pengecekan lapangan menunjukkan inisiatif pengadaan LKS bukan berasal dari sekolah, melainkan dorongan dari sebagian orangtua yang ingin anaknya memiliki bahan belajar tambahan di rumah.
“Dari hasil pertemuan ini, kami mencoba menyelesaikan permasalahan yang ada di SD 017 Sungai Pinang. Berdasarkan informasi dari wali kelas dan kepala sekolah, penjualan buku bukan atas kemauan sekolah tetapi atas permintaan orangtua sebagai referensi belajar di rumah,” jelas Idah.
Idah menegaskan pihaknya sudah sejak awal melarang praktik jual-beli buku di sekolah, namun kali ini terjadi kesalahpahaman.
“Kami sudah memberikan larangan untuk tidak memperjualbelikan buku dalam bentuk apa pun. Jadi ini hanya miskomunikasi dalam konsepnya saja,” tambahnya.
Ia juga menyoroti keterbatasan distribusi Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) dari pemerintah yang memicu permintaan tambahan bahan ajar. Sebagian siswa pindahan dari sekolah swasta tidak terakomodasi karena data penerima LKPD sudah ditetapkan pada November 2024.
“Kami akui data penerima LKPD tahun ini berbeda dengan kondisi riil di lapangan karena cut off pendataan diambil akhir 2024. Tapi kami sudah mencetak tambahan dan minggu depan akan segera didistribusikan ke sekolah-sekolah,” terangnya.
Sementara itu, Kepala SDN 017 Sungai Pinang, Dahlina, menegaskan tidak ada intimidasi terhadap wali murid yang menolak membeli LKS.
“Kami hanya menegaskan, buku itu tidak dipaksakan. Kalau merasa berat, tidak perlu membeli, anak tetap mendapatkan pembelajaran di kelas,” ujar Dahlina.
Ia menjelaskan bahwa munculnya persepsi intimidasi kemungkinan akibat salah paham ketika sejumlah guru ikut memberikan keterangan mengenai tujuan pengadaan LKS.
“Mungkin dari situ muncul persepsi ibu tersebut merasa diintimidasi. Tapi kami tegaskan tidak ada niat seperti itu. Semua guru hanya ingin meluruskan bahwa LKS itu tidak wajib,” kata Dahlina.
Dahlina juga membantah isu bahwa siswa bisa dikeluarkan karena menolak membeli buku.
“Kami tidak pernah mengeluarkan anak hanya karena persoalan buku. Bahkan kami sering menjemput murid yang sulit hadir ke sekolah. Semua murid sangat bernilai bagi kami,” tegasnya.
Pihak sekolah, lanjut Dahlina, juga akan memberikan perlindungan kepada murid agar tidak mengalami perundungan terkait persoalan ini.
“Kalau sampai terjadi perundungan, kami akan lindungi anak itu. Kami juga tetap membuka komunikasi dengan orang tua, karena bagaimanapun mereka sudah mempercayakan anaknya kepada kami,” ucap Dahlina.
Komentar