Areanusantara.com, SAMARINDA – Undang-Undang KUHAP yang tengah dibahas mencuatkan kekhawatiran akan tumpang tindih kewenangan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. PKC Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kalimantan Timur mendesak partisipasi aktif masyarakat demi menjaga integritas sistem peradilan pidana.
Merespons proses revisi RUU KUHAP yang sedang berlangsung, Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Kalimantan Timur menegaskan peran mereka sebagai agen kontrol sosial. “Kami merasa terpanggil untuk mengawasi setiap tahapan revisi ini dan mengajak seluruh elemen masyarakat agar tidak bersikap apatis,” ujar Ketua PKC PMII Kaltim, Sainuddin.
Ia menambahkan berdasarkan kajian dan diskusi internal, terdapat beberapa pasal yang rawan diselewengkan untuk kepentingan politik serta dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga.
Diantaranya diperbolehkannya pejabat kejaksaan untuk rangkap jabatan, memiliki fungsi intelijen, wewenang penyadapan yg semakin luas, penggunaan senjata api bagi jaksa yang sama sekali tidak memiliki urgensi dan pasal yang memberikan imunitas kepada Jaksa.
“Dengan draft yang ada, institusi kejaksaan berpotensi berubah menjadi alat untuk penyalahgunaan kekuasaan, padahal seharusnya berfungsi untuk memperkuat transparansi, akses, dan kesetaraan dalam sistem peradilan pidana,” ungkap Sainuddin dengan tegas.
Lebih lanjut, hasil diskusi yang dilakukan PKC PMII mengungkap bahwa revisi ini tampak dirancang untuk memperkuat kewenangan lembaga tertentu, khususnya kejaksaan. Pejabat tersebut mempertanyakan.
“Bagaimana mungkin satu institusi dapat menjalankan dua tindakan peradilan sekaligus tanpa adanya mekanisme pengawasan yang jelas?”
PKC PMII Kaltim juga memperingatkan bahwa jika revisi RUU KUHAP benar-benar dimaksudkan untuk menguatkan lembaga penegak hukum tertentu sambil melemahkan institusi lainnya, hal itu bisa memicu gejolak masyarakat.
“Kita mungkin akan menyaksikan reaksi serupa dengan penolakan terhadap revisi UU KPK pada tahun 2019, di mana aksi demonstrasi meluas sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan publik,” pungkas Sainuddin.
Komentar