SURABAYA- Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menuai kritik karena dinilai berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan. Hal ini terutama terkait pasal yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk melakukan penyidikan, pemeriksaan, hingga penuntutan secara mandiri.
“Jika jaksa diberi kewenangan penyidikan, akan terjadi tumpang tindih dengan kepolisian. Kecuali dalam perkara tindak pidana khusus seperti korupsi dan pelanggaran HAM berat, yang memang masuk kategori extraordinary crime,” ujar Dr. Prija Jatmika dalam sebuah diskusi, Rabu (22/1).
Menurutnya, daripada menerapkan pasal tersebut, lebih baik pemerintah mengadopsi konsep jaksa wilayah. Konsep ini memungkinkan jaksa berkantor di kantor kepolisian, seperti yang diterapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di mana penyidik dan jaksa penuntut umum bekerja dalam satu atap.
“Hal ini akan meningkatkan efektivitas penanganan perkara hukum dan meminimalisasi pengembalian berkas perkara yang berulang kali dari polisi ke jaksa. Jaksa bisa dilibatkan sejak awal penyidikan, bukan hanya berkoordinasi, tapi bersinergi dalam pengumpulan barang bukti,” jelasnya.
Dr. Prija juga mengkritik pasal dalam RUU KUHAP yang menyebut pelaksanaan restorative justice hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ia menilai, aturan tersebut bertentangan dengan asas adil, cepat, dan murah yang seharusnya menjadi dasar hukum.
“Restorative justice seharusnya diatur pada tingkat penyidikan, bukan di JPU. Jika dilakukan di JPU, maka prosesnya akan memakan waktu karena menunggu pemberkasan dari penyidik terlebih dahulu,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa konsep restorative justice bertujuan untuk memulihkan hak korban dan mencari solusi terbaik antara korban dan pelaku tanpa harus melalui proses hukum panjang. Jika pelaksanaannya hanya di JPU, tujuan tersebut tidak tercapai.
Selain itu, Dr. Prija mengkhawatirkan potensi abuse of power jika RUU KUHAP disahkan tanpa revisi. Ia menyebut kewenangan ganda antara jaksa dan kepolisian dapat membingungkan masyarakat dan menciptakan ketidakpastian hukum.
“Jika polisi dan jaksa sama-sama menyidik, masyarakat akan bingung. Padahal aturan di banyak negara jelas, polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pasal dalam RUU KUHAP yang memberi jaksa kewenangan menangani kasus ideologi, keamanan, dan sosial budaya. Menurutnya, hal ini bukan lagi ranah tindak pidana khusus (pidsus) melainkan tindak pidana umum (pidum), sehingga dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan antara kepolisian dan kejaksaan.
“Jika jaksa menyidik sekaligus menuntut, hal ini tidak menjamin kepastian hukum. Bisa saja perkara dari polisi tidak diloloskan, sementara perkara dari kejaksaan diprioritaskan,” tutupnya.
Komentar